PENGARUH PENAGIHAN
PAJAK DENGAN SURAT PAKSA TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK DI KANTOR PELAYANAN
PAJAK DEPOK
Dosen
Penguji:
ANGGA
HIDAYAT
0426108802
Dibuat
oleh:
1.
ANANTAMA
R. 2013121151
2.
HANI
AMARINI 2013122163
3.
KORI
PUTRI M. 2013121200
4.
LISA
AGUSTINA 2013121367
5.
MAULVI
YUDISTIRA 2013120886
PROGRAM
STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
PAMULANG
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’aalamin, segala puji dan syukur penulis
panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Berkat limpahan taufik dan hidayah-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan lancar.
Atas segala kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan rasa
terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis
dalam penyusunan proposal penelitian ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan
kepada:
1.
Ketua
Yayasan Sasmita Jaya Drs. H. Darsono,
2.
Rektor
Universitas Pamulang Dr. H. Dayat Hidayat, MM,
3.
Ketua
Program Studi Akuntansi H. Endang Ruhiyat SE, MM,
4.
Angga
Hidayat, selaku dosen Metodologi Penelitian,
5.
Kedua
orang tua tercinta, untuk Mama dan Papa yang selalu membantu secara moral dan
materi serta selalu mengiringi penulis melalui doa dan restu.
Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih belum
sempurna dan masih belum lengkap. Demi menyempurnakan dan melengkapi proposal
penelitian ini, penulis berharap koreksi dan saran karena penulis yakin masih
banyak kekurangan dan kesalahan yang dilakukan penulis dalam penyusunan proposal
penelitian ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca dan pihak yang membutuhkannya.
Pamulang,
Januari 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
A.
Latar
Belakang Masalah 1
B.
Identifikasi
Masalah 2
C.
Pembatasan
Masalah 3
D.
Perumusan
Masalah 4
E.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian 4
F.
Kerangka
Pemikiran 5
G.
Hipotesis 6
H.
Sistematika
Penulisan 6
I.
Pendekatan
Data dan Keilmuan 7
1.
Pajak
7
1.1 Definisi Pajak 7
1.2 Fungsi Pajak 9
1.3 Sistem Pemungutan Pajak 9
1.4 Asas Pemungutan Pajak 9
1.5 Jenis-Jenis Pajak 10
2. Penagihan Pajak 12
2.1 Pengertian Penagihan Pajak 12
2.2 Kewajiban dan Hak Wajib Pajak 12
2.3 Tindakan Penagihan Pajak 15
2.4 Prosedur Penagihan Surat Paksa 16
2.5 Tatacara dan Waktu Penagihan Pajak 18
2.6 Syarat Pemungutan Pajak 19
2.7 Hambatan Pemungutan Pajak 20
2.8 Tarif Pajak 20
3. Kepatuhan Wajib Pajak 21
3.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak 21
3.2 Kriteria Wajib Pajak Patuh 22
3.3 Pencabutan Wajib Pajka Patuh 24
4. Hubungan Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa Terhadap Kepatuhan WP 24
J.
Tim
Peneliti 25
K.
Jadwal
Kegiatan 26
L.
Anggaran 26
M.
Pedoman
Peliputan Data 26
N.
Metodologi
Penelitian 26
O.
Daftar
Pustaka 27
A.
Latar Belakang Penelitian
Indonesia
adalah salah satu negara berkembang yang melaksanakan kegiatan pembangunan.
Salah satu kegiatan pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan nasional.
Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus menerus dan
berkesinambungan. Pembangunan tersebut bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil, makmur dan
merata. Agar tujuan tersebut dapat terwujud maka dibutuhkan dana. Dana ini
salah satunya berasal dari penerimaan pajak. (Wijoyanti, 2010: 1)
Menurut
Wijoyanti (2010: 1), Pajak merupakan pendapatan negara yang cukup potensial
untuk dapat mencapai keberhasilan pembangunan. Penerimaan dari sektor pajak
ternyata salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun
terlihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil besar dalam
penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan
primadona dalam membiayai pembangunan nasional.
Peran
masyarakat dalam pemenuhan kewajiban dibidang perpajakan menurut Wijoyanti
(2010: 1-2) perlu ditingkatkan dengan mendorong kesadaran dan pemahaman bahwa
pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan nasional serta
merupakan salah satu kewajiban kenegaraan sehingga setiap anggota masyarakat
wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya karena
pajak dipungut dari warga negara Indonesia dan menjadi salah satu kewajiban
yang dapat dipaksakan penagihannya. Sedangkan pemerintah dan aparatur pajak
hanya berkewajiban membina, meneliti, mengawasi dan memeriksa proses pembayaran
yang telah ditetapkan.
Menurut
Wijoyanti (2010: 2), Salah satu sistem pemungutan pajak yang dianut oleh negara
Indonesia adalah Self Assesment System dimana
wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab sepenuhnya untuk melaksanakan
kewajiban perpajakannya yaitu Wajib Pajak harus aktif menghitung, menyetor dan
melaporkan besarnya pajak yang terutang kepada kantor pelayanan pajak.
Self Assesment System memungkinkan
adanya wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik
akibat dari kelalaian, kesengajaan atau mungkin ketidaktahuan para Wajib Pajak atas kewajiban
perpajakannya.
Adanya
kepercayaan yang sangat besar yang telah diberikan pemerintah kepada wajib
pajak, maka agar Self Assesment System ini
berjalan secara efektif maka sudah selayaknya kepercayaan tersebut diimbangi
dengan upaya penegakan hukum dan pegawasan yang ketat atas kepatuhan wajib
pajak. Misalnya seorang wajib pajak mungkin selalu membayar kewajibannya secara
penuh, tetapi jika kewajiban tersebut dibayar secara terlambat, maka hal
demikian tidak dapat dianggap sebagai patuh.
Kepatuhan
wajib pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan
penerimaan pajak. Dengan demikian pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kepatuhan wajib pajak sangat perlu menciptakan perhatian. Dalam
prakteknya sering kali dijumpai adanya tunggakan pajak dari pihak-pihak yang
tidak mempunyai kesadaran untuk membayar pajak yang mengakibatkan tidak
dilunasinya hutang pajak secara semestinya. Dalam hal ini peran serta
masyarakat wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak berdasarkan
ketentuan perpajakan yang diharapkan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak
dijumpai adanya tunggakan sebagai akibat tidak dilunasinya hutang pajak yang
sebagaimana mestinya. Maka tunggakan pajak yang dimaksud perlu dilaksanakan
tindakan penagihan pajak yang mempunyai hukum yang memaksa. (Wijoyanti, 2010:
3)
Akibat
dari kendala itu mengakibatkan tunggakan pajak yang terus meningkat hingga saat
ini. Hal ini tentu saja sangat merugikan bagi bangsa Indonesia yang memang
sedang melakukan pembangunan nasional. Maka pemerintah memberlakukan UU No.19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan sejak 1 Januari 2001
penagihan pajak dilaksanakan dengan UU No.19 Tahun 2000.
Wijoyanti
(2010: 4) berpendapat bahwa penagihan pajak dengan surat paksa merupakan upaya
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong rakyat agar
bertanggung jawab dan ikut berperan dalam pembangunan ekonomi.
Berdasarkan
uraian diatas maka pembahasan lebih lanjut terhadap pengaruh penagihan pajak
khususnya di Kota Depok, dalam penelitian ini mengambil judul “Pengaruh
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa terhadap Kepatuhan Wajib Pajak di Kota
Depok.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan diatas maka dapat didefinisikan beberapa malasah
penelitian sebagai berikut:
1.
Kurangnya
pengetahuan perpajakan yang diketahui masyarakat sebagai wajib pajak.
2.
Kurangnya
sosialisasi terhadap perpajakan.
3.
Kurangnya
kepatuhan wajib pajak terhadap pajak.
C.
Pembatasan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang diteliti, penulis memiliki sejumlah keterbatasan,
maka pembatasan masalah dilakukan agar penelitian ini lebih terarah dan tidak
menyimpang dari sasaran pokok penelitian, pokok masalah yang dibatasi dalam
konteks permasalahan ini terdiri dari definisi, tempat, waktu, data, dan jenis
penelitian.
1.
Definisi
· Penagihan Pajak
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan
surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telat disita. Direktorat Jenderal Pajak
(2010: 232).
· Kepatuhan
Pengertian kepatuhan pajak menurut Gunardi (dalam Wijoyanti, 2010: 40),
yaitu kepatuhan pajak adalah bahwa wajib pajak mempunyai kesediaan untuk
memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan – aturan yang berlaku tanpa
perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, ataupun ancaman
dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.
· Wajib Pajak
Wajib pajak menurut ketentuan umum dan tata cara perpajakan (dalam
Aas, 2010: 40) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,
termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
2.
Tempat
penelitian dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Depok.
3.
Lama
waktu dalam melakukan penelitian selama sebulan dari Bulan pembuatan proposal
ini.
4.
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode survey.
Melalui metode ini dilakukan sebuah sample data dengan menggunakan kuesioner
yang disebarkan secara random atau acak kepada responden sebagai alat
pengumpulan data.
5.
Jenis
Penelitian
Jenis
penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif. Dimana penelitian ini
berdasarkan pada filsafat positif, digunakan untuk meneliti pada populasi atau
sampel tertentu, teknik penambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random,
pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkan Sugiyono (dalam Nurlaila, 2015: 6).
D.
Perumusan Masalah
Sejalan
dengan latar belakang masalah diatas, dapat merumuskan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah penagihan pajak dengan surat paksa berpengaruh terhadap
kepatuhan wajib pajak di kantor pelayanan pajak di Depok?
2. Bagaimana pengetahuan pajak di masyarakat Depok?
3. Bagaimana tingkat kepatuhan masyarakat selaku wajib pajak terhadap
pengetahuan pajak itu sendiri?
4. Apakah manfaat pengetahuan pajak itu berpengaruh terhadap tingkat
kepatuhan wajib pajak?
E.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:
· Untuk mengetahui bagaimana pengetahuan pajak di masyarakat Depok.
· Untuk mengetahui bagaimana tingkat kepatuhan masyarakat selaku
wajib pajak terhadap pengetahuan pajak.
· Untuk mengetahui manfaat pengetahuan pajak itu berpengaruh terhadap
tingkat kepatuhan wajib pajak.
2.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada berbagai pihak, antara lain:
·
Bagi peneliti
Diharapkan
dapat menambah pengetahuan di bidang perpajakan khususnya yang berkaitan dengan
pengaruh surat paksa terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
· Bagi pembaca
Diharapkan
dapat menambah bacaan serta hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
informasi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian lebih lanjut.
F.
Kerangka Pemikiran
Menurut
Wijoyanti (2010: 46-47) Penelitian ini akan menerangkan bagaimana pengaruh
pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.
Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pemikiran penelitian dapat digambarkan
dalam bentuk di bawah ini:
Surat
Tagihan Pajak
|
Surat
Teguran
|
Surat
Paksa
|
Kepatuhan
Wajib Pajak
|
Surat
Pemberitahuan
|
Surat
Ketetapan Pajak
|
SKPKBT
|
SKPKB
|
Tunggakan
Pajak
|
G.
Hipotesis
Kerlinger (dalam Supardi, 2005: 69)
mengatakan bahwa suatu hipotesis adalah suatu pernyataan pendugaan, suatu proposisi sementara mengenai
hubungan antara dua atau lebih variabel
.
Murdick (dalam Supardi, 2005: 69)
menyatakan bahwa hipotesis adalah merupakan penjelasan sementara (provisional
explanation) mengenai suatu fenomena atau merupakan solusi tentatif
terhadap suatau masalah.
Menurut Supardi (2005: 69),
Hipotesis adalah suatu jawaban permasalahan sementara yang bersifat dugaan dari
suatu penelitian. Dugaan itu harus dibuktikan kebenarannya melalui data empiris
(fakta lapangan).
Hipotesis
berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa:
H0
: Tidak ada pengaruh antara surat paksa dengan kepatuhan wajib pajak di Kantor Pelayanan
Pajak Depok.
Ha
: Ada pengaruh antara surat paksa dengan kepatuhan wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Depok.
H.
Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan merupakan gambaran umum yang disusun oleh penulis untuk memudahkan
pemahaman akan topik yang dibahas. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat
hal-hal yang dicakup oleh setiap bab, sebagai berikut:
1.
Sampul
muka,
2.
Halaman
pengesahan,
3.
Halaman
pernyataan,
4.
Halaman
abstrak (bahasa Indonesia),
5.
Halaman
abstract (bahasa Inggris),
6.
Kata
pengantar,
7.
Daftar
isi,
8.
Daftar
tabel,
9.
Daftar
gambar,
10.
Daftar
lampiran,
11.
Bagian
utama
BAB I: Pendahuluan
a. Latar Belakang Masalah
b. Identifikasi Masalah
c. Pembatasan Masalah
d. Perumusan Masalah
e. Tujuan dan Manfaat Penelitian
f. Kerangka Pemikiran
g. Hipotesis
h. Sistematika Penulisan
i. Teori/ Tinjauan Pustaka/ Kerangka Pemikiran
BAB II: Tinjauan Pustaka
BAB III: Metodologi Penelitian
a.
Jenis Penelitian
b.
Model Penelitian
c.
Populasi dan Sampel (bila ada)
d.
Teknik Pengumpulan Data
e.
Pengolahan dan Analisis Data
f.
Operasionalisasi Variabel
BAB IV: Hasil dan Pembahasan
BAB V: Kesimpulan dan Saran
12.
Bagian akhir, terdiri dari:
a.
Daftar Pustaka
b.
Lampiran (bila ada)
c.
Surat Bukti atau Keterangan Melakukan Penelitian
I.
Pendekatan dan Keilmuan
1.
Pajak
1.1
Definisi Pajak
Wijoyanti (2010: 9) berpendapat
bahwa pada dasarnya pajak merupakan salah satu perwujudan dan kewajiban kenegaraan
yang merupakan sarana peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dalam hal
ini pajak yang dipunggut oleh negara digunakan untuk menjalankan roda
pemerintahan demi menjamin kelangsungan
hidup serta meningkatkan mutu kehidupan bangsa Indonesia yang tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang 1945 yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta dalam melaksanakan ketertiban
dunia.
Oleh karena itu sangat penting kita simak
pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli dalam bidang perpajakan yang
memberikan pengertian yang berbeda namun pada inti dan tujuannya sama.
Definisi pajak menurut
Soemahamidjaja (dalam Wijoyanti 2010: 10), yaitu pajak adalah iuran wajib
berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma
hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam
mencapai kesejahteraan umum.
Diartikan dari
Adriani (dalam Nurlaila, 2015: 16) menyatakan pajak adalah iuran kepada negara
(yang dapat dipaksakan) yang tertuang oleh wajib pajak membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubungan dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Selain
itu menurut Soemitro (dalam Nurlaila, 2015: 16) mengartikan pajak adalah iuran
kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapatkan jasa timbal yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.
Dari pengertian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan perundang-undangan, yang
tidak mendapat prestasi, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara.
Menurut Wijoyanti (2010: 10), Ciri-ciri
yang melekat pada pengertian pajak adalah:
a.
Pajak
dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang bersifat
dapat dipaksakan.
b.
Dalam
pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh
pemerintah.
c.
Pajak
yang dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
d.
Pajak
diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukkannya masih terdapat surplus maka digunakan untuk membiayai public
investment.
e.
Pajak
dapat pula mempunyai tujuan selain budgeteir, yaitu mengatur.
1.2
Fungsi Pajak
Fungsi pajak menurut Mardiasmo dalam bukunya ‘Perpajakan” (dalam
Wijoyanti 2010: 11) adanya 2 fungsi pajak, yaitu:
a.
Fungsi
Penerimaan (Budgeteir)
Pajak
berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran
pemerintah.
b.
Fungsi
Mengatur (Reguler)
Pajak
berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang
sosial dan ekonomi.
1.3
Sistem Pemungutan Pajak
Sistem
pemungutan pajak menurut Wijoyanti (2010: 12) dapat dibagi menjadi:
a.
Official
Assessment System
Sistem
ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri
Official Assessment System:
1) Wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus
2) Wajib Pajak
bersifat pasif
3) Utang pajak
timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus
b.
Self
Assessment System
Sistem ini merupakan pemungutan
pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang harus dibayar.
c.
Withholding
System
Sistem
ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
1.4
Asas Pemungutan Pajak
Untuk mencapai tujuan pemungut pajak perlu memegang teguh asas-asas
pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Maka terdapat keserasian
pemungut pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu
pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas pemungut pajak.
Menurut Waluyo (Wijoyanti, 2010: 13) menyatakan bahwa pemungutan
pajak hendaknya didasarkan pada:
a. Equality
Pemungutan
pajak harus bersifat adil dan merata yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi
yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay
dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib
Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan
kepentingan dan manfaat yang diminta.
b. Certainty
Penetapan
pajak itu tidak ditentukan sewenag-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar,
serta batas waktu pembayaran.
c. Convenience
Kapan
Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang
tidak menyulitkan Wajib Pajak, sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh
penghasilan.
d. Economy
Secara
ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak
diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.
1.5
Jenis-Jenis Pajak
Masalah perpajakan tidaklah
sederhana hanya sekedar menyerahkan sebagian penghasilan atau kekayaan
seseorang kepada negara, tetapi coraknya bermacam-macam tergantung pada
pendekatannya. (Wijoyanti, 2010: 14)
Jenis pajak dapat digolongkan
menjadi 3 macam, yaitu menurut sifat, golongan dan lembaga pemungutnya.
a.
Menurut
sifat
1.
Pajak
subjektif
Menurut Wijoyanti (2010: 14), Pajak subjektif adalah pajak yang
didasarkan atas keadaan subjeknya, memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak yang
selanjutnya dicari syarat objektifnya. Contoh: Pajak Penghasilan
Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam artian memperlihatkan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya:
Pajak Penghasilan (PPh). (Sari, 2014: 20).
2.
Pajak
objektif
Wijoyanti (2010: 14) menyatakan bahwa pajak objektif adalah pajak
yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan dari Wajib Pajak. Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan.
Sari (2014: 20) berpendapat bahwa pajak objektif yaitu pajak yang
berpangkal pada objeknya, tanpa memperlihatkan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
b.
Menurut
golongan
1.
Pajak
langsung
Wijoyanti (2010: 14) berpendapat bahwa pajak langsung merupakan
pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi
harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak
Penghasilan.
Sari (2014: 19) menyatakan bahwa pajak langsung merupakan pajak
yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain atau pihak lain. Contohnya: Pajak Penghasilan (PPh).
2.
Pajak
tidak langsung
Menurut
Wijoyanti (2010: 14), Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya
dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.
Sari
(2014: 19) berpendapat bahwa pajak tidak langsung merupakan pajak yang pada
akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.
Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
c.
Menurut
lembaga pemungut
1.
Pajak
Pusat (Negara)
Pajak
pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, PPh dan PPnBM, Bea
Materai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan.
(Wijoyanti, 2010: 14).
2.
Pajak
Daerah
Wijoyanti
(2010: 14) menyatakan bahwa pajak daerah merupakan pajak yang dipungut oleh
pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. Pajak
daerah diatur dalam PP no. 18 tahun 1997 sebagaimana diubah menjadi PP no. 34
tahun 2000. Pajak daerah dibedakan menjadi 2, yaitu:
a.
Pajak
Provinsi
contoh:
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, Pajak Penghasilan dan Pemanfaatan Air di bawah Tanah dan Air
Permukaan.
b.
Pajak
Kabupaten atau Kota
Contoh:
Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerang
Jalan.
2.
Penagihan Pajak
2.1
Pengertian Penagihan Pajak
Menurut Priantara dalam bukunya
perpajakan Indonesia edisi revisi 2 (dalam Sari, 2014: 25), penagihan pajak
merupakan suatu tindakan untuk mendapatkan pelunasan atas semua piutang pajak
yang harus dibayar oleh wajib pajak atau penaggung pajak baik dengan cara
lembut atau persuasive dan administrative hingga cara penyitaan dan pelelangan.
2.2
Kewajiban dan Hak Wajib Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (2010: 29)
Kewajiban-kewajiban yang timbul dalam pajak harus dipenuhi oleh keharusan membayar pajak, tetapi
sebaliknya pembuatan undang-undang pajak harus memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan bahwa tidak senantiasa kewajiban-kewajiban itu seperti:
pembayaran pajak, akan dipenuhi oleh yang bersangkutan dengan sukarela. Agar
dipatuhinya undang-undang yang telah ditetapkan, maka perlunya tindakan
penagihan pajak. Berikut ini disajikan pengertian penagihan pajak menurut
beberapa para ahli adalah sebagai berikut:
a.
Menurut
Ida Zuraida dan L.Y Hari Sih Advianto (dalam Direktorat Jendral Pajak, 2010:
29) adalah sebagai berikut:
“Penagihan
adalah serangkaian tindakan agar penaggung pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang
disita”.
b.
Adapun
pengertian menurut Rochmat Soemitro yang ditulis oleh Siti Kurnia Rahayu dan
Ely Suhayanti (dalam Direktorat Jendral Pajak, 2010: 29) menyatakan bahwa :
“Penagihan
yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak, karena wajib pajak
tidak mematuhi ketentuan undang-undang, khususnya mengenai pembayaran pajak”.
Berasarkan
undang-undang No 6 tahun 1983 tetang ketentuan umum dan tatacara perpajakan,
sebagaimana terakhir telah diubah dengan undang-undang No 28 tahun 2007,
terdapat hak dan kewajiban wajib pajak sebagai berikut:
a.
Kewajiban
Wajib Pajak
1)
Mendaftarkan
diri ke KPP untuk memperoleh NPWP.
Dalam
rangka program extesifikasi, meskipun wajib pajak tidak (belum) mendaftarkan
diri, bagi wajib pajak yang telah memenuhi syarat untuk memiliki NPWP maka akan
diberikan NPWP secara jabatan. Apabila kepada wajib pajak telah diberikan NPWP
secara jabatan, maka telah menggugurkan kewajiban wajib pajak untuk
mendaftarkan diri.
Nomor
Pokok Wajib Pajak adalah suatu saran dalam administrasi perpajakn yang
digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena
itu kepada setiap wajib pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga
ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan,
Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.
2)
Wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Setiap
Wajib Pajak sebagai pengusaha yang memenuhi syarat untuk dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang PPN, waib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Fungsi
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas
Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk melaksanakan hak dan
kewajiban dibidang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 9PPn BM).
3)
Mengambil
sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) ditempat yang telah ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak (DJP)
Dalam
rangka pelayanan dan kemudahan bagi Waajib Pajak, formulir surat pemberitahuan
disediakan pada kantor-kantor dilingkungan DJP dan tempat-tempat lain yang
ditentukan oleh Direktur Jendral Pajak yang diperkiraan mudah terjangkau oleh
Wajib Pajak.
4)
Wajib
Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap,
jelas, dan menandatanganinya.
Setiap
Wajib Pajak mengisi surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf latin, angka Arab, atau satuan mata uang Rupiah, dan
menandatangani serta menyampaikannya kekantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak
teraftar atau dikukuhkan. Bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri
Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan
mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
5)
Wajib
membayar atau menyetor pajak yang terutang ke kas Negara melalui Kantor Pos
atau Bank Persepsi.
Setiap
Wajib Pajak membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
6)
Wajib
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
Bagi
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
dan wajip pajak badan di Indonesia diwajibkan untuk menyelenggrakan pembukuan.
Dikecualikan dari kewajiban pembukuan, tetapi diwajibkan melakukan pencatatan
bagi Wajib Pajak orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajjakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma
Perhitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang prbadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pembukuan
dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha harus disimpan oleh
wajib pajak selama 10 (sepuluh) tahun. Karena selama jangka waktu tersebut DJP
masih dapat melakukan pemeriksaan.
2.3
Tindakan Penagihan Pajak
Wijoyanti (2010: 23) menyatakan bahwa tindakan penagihan pajak
dilakukan apabila pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan
Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan pajak yang harus dibayar bertambah,
tidak atau kurang bayar setelah lewat tanggal jatuh tempo pembayaran pajak yang
bersangkutan.
Menurut Wijoyanti (2010: 23), Dalam bidang administrasi perpajakan
dikenal beberapa bentuk tindakan penagihan yaitu penagihan pasif, penagihan
aktif, dan penagihan dengan surat paksa.
a.
Penagihan
pasif
Penagihan
pasif adalah tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan cara
memberikan himbauan kepada Wajib Pajak agar melakukan pembayaran pajak sebelum
tanggal jatuh tempo. Penagihan pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan
Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak terutang menjadi lebih
besar. Penagihan pasif merupakan tugas pengawasan fiskus atau kepatuhan Wajib
Pajak dalam melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
b.
Penagihan
aktif
Penagihan
aktif adalah penagihan yang didasarkan pada STP, SKPKB, SKPKBT dimana
Undang-undang telah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran yaitu 1 bulan
terhitung mulai dari STP, SKPKB, SKPKBT diterbitkan. Jika dalam jangka waktu 30
hari utang pajak belum juga dilunasi maka 7 hari setelah tanggal jatuh tempo
akan dilakukan tindakan penagihan pajak yang di awali dengan menerbitkan surat
teguran dan melaksanakan surat paksa.
Penagihan
aktif ini merupakan kelanjutan dari penagihan pasif, dimana dalam upaya
penagihan ini fiskus berepran aktif,dalam arti tidak hanya mengirim STP atau
SKP tetapi juga akan diikuti dengan tindakan dan dilanjutkan dengan pelaksanaan
lelang.
2.4
Prosedur Penagihan Surat Paksa
Wijoyanti
(2010: 24) menyatakan bahwa prosedur penagihan dengan surat paksa merupakan
cara penagihan yang terakhir dimana fiskus melalui juru sita pajak Negara
menyampaikan atau memberitahukan surat paksa, melakukan penitaan dan melakukan
pelelangan melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang milik Wajib Pajak.
Penagihan dengan surat paksa ini dikenal dengan penagihan yang “keras” dalam
rangka melakukan Law Enforcement di bidang perpajakan. Namun langkah ini
merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh fiskus apabila tidak ada jalan lain
yang dapat dilakukan. Wijoyanti (2010: 24) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan
penagihan aktif tersebut dapat dilakukan dengan 4 tahap, yaitu:
a.
Surat
teguran
Penyampaian
surat teguran merupakan awal pelaksanaan tindakan penagihan oleh fiskus untuk
memperingatkan Wajib Pajak yang tidak melunasi utang pajaknya sesuai dengan
keputusan penetapan (STP, SKPKB, SKPKBT) sampai dengan saat jatuh tempo.
Definisi
surat teguran menurut Suandy (dalam Wijoyanti, 2010: 25) yaitu surat yang
diterbitkan untuk memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Definisi lain menurut Rusdji (dalam Wijoyanti, 2010: 25) surat teguran yaitu
surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur Wajin Pajak agar melunasi
utang pajaknya
Dari
definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa surat teguran adalah surat yang
diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk
melunasi utang pajaknya. Wijoyanti (2010: 25).
Surat
teguran dikeluarkan apabila utang pajak yang tercantum dalam SPT, SKPKB, atau
SKPKBT tidak dilunasi sampai melewati waktu 7 hari dari batas waktu jatuh tempo
1 bulan sejak tanggal diterbitkannya. Menurut keputusan Menteri Keuangan no.
56/KMK/.04/2000 Pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa surat teguran tidak diterbitkan
terhadap penanggungan pajak yang disetujui untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajaknya. Wijoyanti (2010: 25).
b.
Surat
Paksa
Menurut
Wijoyanti (2010: 26), Penagihan dengan surat paksa apabila jumlah tagihan pajak
tidak atau kurang bayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, aau
sampai dengan jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi angsuran
pembayaran pajak.
Pengertian
surat paksa telah diatur dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 19 tahun 2000
tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa yang berbunyi: surat paksa adalah
surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Sedangkan
menurut Rusdji (dalam Wijoyanti, 2010: 26) yaitu surat yang diterbitkan apabila
Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo.
Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa surat paksa adalah surat
perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak yang diterbitkan
apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh
tempo.
Surat
paksa diterbitkan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi
utang pajaknya sampain dengan tanggal jatuh tempo dan Penanggung Pajak tidak
memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan
pembayarannya.
Sebagai
surat yang mempunyai kuasa hukum yang pasif, tentu memiliki ciri-ciri dan
kriteria tersendiri. Dalam Undnag-undang No. 19 tahun 2000 sebagai perubahan
atas Undang-undang No.19 tahun 1997 Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa fisik dari
surat paksa sendiri di bagian kepalanya bertuliskan “Demi Keadilan dan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa surat paksa
sekurang-kurangnya harus memuat:
1.
Nama
Wajib Pajak atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak,
2.
Dasar
penagihan,
3.
Besarnya
utang pajak,
4.
Perintah
untuk membayar.
c.
Surat
Penyitaan
Penyitaan
merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah Surat Paksa. Surat penyitaan
diterbitkan apabila utang pajak belum dilunasi dalam jangka waktu 2x24 jam
setelah Surat Paksa diberitahukan, untuk itu maka dapat dilakukan tindakan
penyitaan atas barang-barang Wajib Pajak. Wijoyanti (2010: 29).
Penyitaan
menurut Hadi (dalam Wijoyanti, 2010: 30) yaitu serangkaian tindakan dari juru
sita pajak yang dibantu oleh 2 orang saksi untuk menguasai barang-barang dari
Wajib Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak sesuai dengan
perundang-undangan.
Penyitaan
dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Hal lainnya yang dapat disita
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pencabutan
sita dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi biaya penagihan dan
utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan Badan Peradilan
Pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan
Kepala Daerah.
d.
Lelang
Menurut Wijoyanti (2010: 34), Apabila Wajib Pajak telah melunasi
utang pajak etapi belum melunasi biaya penagihan pajak maka penjualan secara
lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilakukan.
Pengertian lelang menurut Rusdji (dalam Wijoyanti, 2010: 34) yaitu
setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran bunga secara lisan
atau tertulis melalui pengumpulan calon pembeli.
2.5
Tatacara dan Waktu Penagihan Pajak
Wijoyanti
(2010: 38), Menurut keputusan Menteri Keuangan No. 561/KMK.04/2000 menguraikan
hal – hal yang berkaitan dengan tata cara dan waktu penagihan pajak sebagai
berikut:
a.
Tindakan
pelaksanaan penagihan pajak diawali dengan penerbitan surat teguran setelah 7
hari jatuh tempo pembayaran. Surat teguran tidak diterbitkan terhadap
penanggung pajak yang telah disetujui
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya.
b.
Apabila
jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh penangung pajak setelah 21 harisejak
diterbitkan surat teguran, maka akan diterbutkan Surat Paksa.
c.
Apabila
jumlah utang pajak yang masih harus dibayar dilunasi oleh penanggung pajak
setelah lewat waktu 2x24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan,maka segera akan
diterbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan ( SPMP).
d.
Apabila
utang pajak dan biaya penagihan pajak yang masih haruus dilunasi oleh
penanggung pajak setelah lewat dari jangka waktu 14 hari sejak tanggal
pelaksanaan penyitaan, maka akan dilaksanakan pengumuman lelang.
e.
Apabila
utang pajak dan biaya penagihan pajak yangg masih harus dilunasi oleh
penanggung pajak setelah lewat dari jangka waktu 14 hari sejak tanggal
pengumuman lelang, akan segera dilakukan penjualan barang sitaan penanggung
pajak melalui kantor lelang.
2.6
Syarat Pemungutan Pajak
Menurut
Wijoyanti (2010: 16), Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan
perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Pemungutan
pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai
dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan. Undang-undang dan pelaksanaan
pemungutan harus adil.
b.
Pemungutan
pajak harus berdasarkan Undang-undang (syarat yuridis)
Di
Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan
jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya.
c.
Tidak
mengganggu perekonomian (syarat ekonomi)
Pemungutan
tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan roduksi maupun perdagangan, sehingga
tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
d.
Pemungutan
pajak harus efisien (syarat finansial)
Sesuai
fungsi budgetir, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasilpemungutannya.
e.
Sistem
pemungutan pajak harus sederhana
Sistem
pemungutan sederhana akan memudahkan dalam mendorong masyarakat untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya.
Contoh:
1.
Bea
materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
2.
Tarif
PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
3.
Pajak
perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan
menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan
(orang pribadi).
2.7
Hambatan Pemungutan Pajak
Wijoyanti
(2010: 17) menyatakan bahwa hambatan terhadap pemungutan pajak dapat
dikelompokkan menjadi:
a.
Perlawanan
pasif, masyarakat tidak bersedia (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara
lain:
1.
Perkembangan
intelektual dan moral masyarakat.
2.
Sistem
perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
3.
Sistem
kontrol tidak dapat dilaukan atau dilaksanakan dengan baik.
b.
Perlawanan
aktif, perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara
lain:
1.
Tax
avoidance yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar Undang-undang.
2.
Tax
evasion yaitu usaha meringankan pajak dengan cara melanggar Undang-undang.
Namun tidak dipungkiri bahwa
sebagian masyarakat terdapat keengganan memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam
hal yang demikian timbul perlawanan terhadap pajak.
2.8
Tarif Pajak
Menurut Sari (2014: 24), Pungutan
pajak tidak terlepas dari keadilan, dengan keadilan dapat tercipta keseimbangan
sosial yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat, dalam penetapan
tarif harus berdasarkan pada keadilan. Tarif pajak adalah tarif untuk
menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayar) besarnya tarif
dapat dinyatakan dalam persentasi, tarif dapat di bedakan menjadi beberapa
macam, yaitu:
a.
Tarif
sebanding/proporsional
Tarif
berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang
dikenai. Wijoyanti (2010: 18).
b.
Tarif
tetap
Wijoyanti
(2010: 18) yaitu tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun
jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Menurut
Sari (2014, 24), tarif tetap yaitu tarif yang merupakan jumlah yang tetap,
tidak berubah jika yang dijadikan dasar perhitungan berubah.
c.
Tarif
progresif yaitu persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah
dikenai pajak semakin besar.
d.
Tarif
degresif yaitu persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang
dikenai.
3.
Kepatuhan Wajib Pajak
3.1
Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Wijoyanti (2010: 39), Banyak para
wajib pajak yang enggan membayar pajak karena perasaan ragu apakah pembayaran
pajaknya sampai ke kas negara. Pemahan pemerintah terhadap partisipasi rakyat
dalam perpajakan belumlah lengkap karena partisipasi rakyat yang sesungguhnya
adalah pelihatan rakyat dalam proses penentuan anggaran belanja sehingga rakyat sebagai pembayar pajak mengerti fungasi dan manfaat pajak yangg
dibayarnya. Bila rakyat mengerti, maka akan dapat memacu tingkat kepatuhan membayar
pajak.
Pengertian kepatuhan pajak menurut
Gunardi (dalam Wijoyanti, 2010: 40), yaitu kepatuhan pajak adalah bahwa wajib
pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan
aturan – aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi
seksama, peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun
administrasi.
Pengertian kepatuhan pajak menurut
Zain (dalam Wijoyanti, 2010: 40) yaitu kepatuhan pajak adalah suatu iklim
kepatuhan dan kesadaran pemenuhan
kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi dimana Wajib Pajak paham dan
berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundangan-undangan
perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas,Menghitung jumlah
pajak yang terutang dengan benar dan membayar pajak tepat pada waktunya.
Pengertian kepatuhan pajak menurut Nurmantu (Wijoyanti, 2010: 40), yaitu
kepatuhan perpajakan adalah suatu
keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakannya.
Dari pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu sikap taat dari Wajib
Pajak untuk melaksanakan semua kewajiban dan memenuhi hak perpajakannya sesuai
dengan aturan – aturan yang berlaku.
Ada 2 macam kepatuhan menurut
Wijoyanti (2010: 40-41), yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material:
a.
Kepatuhan
formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban secara formal
sesuai denganketentuan dalam Undang – undang perpajakan.
b.
Kepatuhan
material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantis atau
hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi
Undang-undang.
3.2
Kriteria Wajib Pajak Patuh
Istilah wajib pajak resmi digunakan
dalam Undang – undang perpajakan 2000. Setelah lebih 5 tahun absen, Direktorat
Jendral Pajak kembali memberikan penghargaan kepada Wajib Pajak. Bedanya dahulu
penghargaan tersebut diberikan kepada Wajib Pajak besar, yaitu Wajib Pajak yang
secara nominal membayar pajak terbesar baik untuk kategori orang pribadi maupun
badan. Kini penghargaan tersebut diberikan kepada Wajib Pajak patuh, yaitu
Wajiib pajak yang memenuhi sejumlah kriteria kepatuhan.
Penghargaan
Wajib Pajak besar akhirnya dihentikan karena muncul banyak kritik bahwa mereka
yang memperoleh penghargaan sebagai
pembayar pajak terbesar belum tentu benar dalam memenuhi kewajibannya.
Penghargaan seharusnya diberikan berdasarkan kepatuhan Wajib Paja, bukan
berdasarkan nilai yang dibayarkan.
Menurut
Wijoyanti (2010: 41-42), Syarat menjadi Wajib Pajak patuh memang berat. Mereka
harus memenuhi beberapa syarat. Kriteria Wajib Pajak patuh sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan no 235/ KMK 03/2003 tanggal 3 Juni 2003, adalah
sebagai berikut:
a.
Tepat
waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir.
b.
Dalam
tahun terakhir penyampaian SPT masa yang terlambat tidak lebih dari 3 hari masa
pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut – turut.
c.
Tidak
mempunyai tunggakan untuk semua jenis pajak, kecuali telat memperoleh izin
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
d.
Tidak
pernah dijatuhi hukuman karena telah melakukan tindak pidana dibidang
perpajakan dalam waktu 10 tahun.
e.
Dalam
hal laporan keuangan yang ada di audit oleh Akuntan Publik (yakni Akuntan yang tidak dalam pembinaan
Dirjen Lembaga Keuangan) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat:
1)
Wajar
tanpa pengecualian.
2)
Wajar
dengan pengecualian, sepanjang
pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal dimana laporan
auditnya harus menyajikan Rekonsiliasi Laba Rugi dan Fiskal.
f.
Dalam
hal laporan kuangan tidak diaudit oleh Akuntan Publik, maka Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak patuh sepanjang
memenuhi kriteria pada butir a sampai butir c di atas dan pemohonan diajukan paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku
berakhir.
Keuntungan
apabila menjadi Wajib Pajak patuh adalah bagi pengusaha kena pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib
Pajak Patuh akan diberikan pelayanan
khusus dalam restitusi Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai berupa
pengembalian pendahuluan kelebihan pajak tanpa dilakukan pemeriksaan terlebih
dahulu. Wijoyanti (2010: 43).
Direktorat
Jendral Pajak menetapkan Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai Wajib
Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai Wajib Pajak patuh setiap bulan januari.
Bagi wajib pajak berwenang secara jabatan menetapkan status Wajib Pajak patuh
tanpa pemohonan Wajib Pajak sepanjang Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut
memenuhi persyaratan huruf a sampai dengan huruf f di atas. Penetapan Wajib
Pajak patuh berlaku untuk jangka waktu 2 tahun.
3.3
Pencabutan Wajib Pajak Patuh
Wijoyanti
(2010: 44), Surat penetapan Wajib Pajak patuh dicabut oleh Kepala Kantor
wilayah setelah mempertimbangkan usulan Kepala Kantor Pelayanan Pajak, dalam
hal memenuhi kriteria pembatalan, yaitu:
a.
Terhadap
Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyelidikan tindak pidana dibidang
perpajakan.
b.
Wajib
Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 masa pajak untuk semua jenis
pajak.
c.
Dalam
hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa tidak lebih 3 masa pajak,
terdapat penyampaian SPT Masa lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa pajak
berikutnya.
d.
Wajib
Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 masa pajak atau lebih
berturut-turut untuk semua jenias pajak.
e.
Dalam
suatu masa pajak ternyata tidak memenuhi kriteris “tidak pernah dijatuhi
hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu
10tahun terakhir” sejak masa pajak yang bersangkutan.
Penetapan Wajib Pajak patuh berlaku untuk jangka waktu 2 tahun,
Wajib Pajak patuh juga dapat dicabut surat penetapannya oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat karena lalai dalam kewajiban perpajakannya.
4.
Hubungan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Terhadap Kepatuhan WP
Menurut Wijoyanti (2010: 44), Pelayanan
pajak mempunyai peranan penting dalam penerimaan dalam negeri. Upaya pemerintah
untuk meningkatkan pelayanan pajak yang baik salah satunya melalaui penerbitan
surat paksa terhadap penanggung pajak demi terwujudnya kepatuhan wajib pajak.
Surat paksa dikeluarkan oleh petugas
pajak (fiskus) apabila jumlah tagihan pajak tersebut tidak atau kurang dibayar
sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi
angsuran pembayaran pajak setelah dikeluarkan surat penagihan atau surat
peringatan terhadap penanggung pajak.
Surat Paksa diterbitkan berdasarkan
asas “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (UU no.19 tahun 1997
pasal 7 ayat 1) agar tercapai efektifitas dan efesiensi penagihan pajak.
Sehingga surat paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan
pengadilan dan tidak dapat diajukan banding.
Hasil penelitian dari Kurniawati
(dalam Wijoyanti, 2010: 45) dengan judul pegaruh penagihan pajak dengan surat
paksa terhadap kepatuhan wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta
Menteng Dua menunjukan perubahan pajak dengan surat paksa maka wajib pajak akan
melakukan kewajiban perpajakannya.
Apabila kesadaran masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya sudah tercipta maka masyarakat atau Wajib
Pajak yang tidak melunasi utang pajak yang jatuh tempo semakin berkurang. Dan
berkurang pula surat paksa dikeluarkan fiskus sehingga dapat meningkatkan
kepatuhan wajib pajak yang merupakan tujuan diberlakukannya surat paksa.
Begitu pula sebaliknya, apabila
semakin banyak surat paksa yang beredar. Hal tersebut menunjukkan belum
terciptanya kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajibannya. Sehingga
kepatuhan wajib pajak yang merupakan tujuan dari diberlakukannya surat paksa
masih belum terpenuhi.
J.
Tim Peneliti
Dalam
kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
karena penulis tidak dapat menyelesaikan tanpa bantuan dan dukungan serta do’a
dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1.
Kedua
orang tua kami yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam mengerjakan
penelitian ini.
2.
Sahabat-sahabat
yang selalu membuat keonaran dan keceriaan disetiap harinya yang membuat kami
semangat dalam mengerjakan penelitian.
3.
Seluruh
tim yang bertugas dalam penelitian ini dengan saling bertukar pikiran,
pengalaman, serta dukungan satu sama lainnya.
4.
Seluruh
dosen fakultas ekonomi yang telah memberikan ilmu pengetahuan terhadap kami.
5.
Seluruh
teman-teman sekelas yang selalu memberikan dorongan, masukan, serta saran yang
mendukung guna untuk menyelesaikan penelitian ini.
K.
Jadwal Penelitian
Tahapan Penelitian
|
Des
|
Jan
|
Feb
|
|||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
Studi Kepustakaan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengumpulan Data
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Analisis Data
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penyusunan Proposal
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penyelesaian Laporan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Revisi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sidang Skripsi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Wisuda
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
L.
Anggaran
No.
|
Keterangan
|
Jumlah
|
1.
|
1 Rim kertas A4
|
Rp. 65.000
|
2.
|
Tinta printer (1 warna)
|
Rp. 50.000
|
3.
|
Biaya tak terduga
|
Rp. 75.000
|
4.
|
Biaya revisi
|
Rp. 70.000
|
5.
|
Biaya Wisuda
|
Rp. 1.500.000
|
Total
|
Rp. 1.760.000
|
M.
Pedoman Peliputan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner.
Kuisioner tersebut diberikan kepada setiap masyarakat sebagai wajib pajak yang
ada di Depok yang terpilih dalam penelitian ini. Skala likert digunakan dalam
menentukan skor dalam kuisioner yang akan diberikan.
N.
Metodologi Penelitian
1.
Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian
ini menggunakan tekhnik analisis regresi linier berganda yang diuji dengan
tingkat signifikansin 0,05. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk
mengetahui atau memperoleh gambaran mengenai pengaruh variabel independen
dengan variabel dependen. Analisis ini menggunakan bantuan program computer Statistical
Package for Social Science (SPSS) 16.0 for windows.
O.
Daftar Pustaka
Aas, (2010). Analisis Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Serpong. Universitas Pamulang: Skripsi yang Tidak
diterbitkan.
Direktorat Jenderal Pajak, (2010). Susunan
dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pajak.
Fathoni, Abdurrahmat. (2006). Metodologi
Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Nurlaila. (2015). Pengaruh
Pengetahuan Pajak dan Layanan E-filling terhadap tingkat Kepatuhan Penyampaian
SPT Tahun PPh Orang Pribadi. Universitas
Pamulang: Skripsi yang Tidak diterbitkan.
Sari, Hilda
Puspita. (2014). Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Surat Penyitaan
terhadap Penerimaan Pajak. Universitas Pamulang: Skripsi yang Tidak diterbitkan.
Supardi. (2005). Metodologi
Penelitian Ekonomi & Bisnis. Yogyakarta: UII Press.
Wijoyanti,
Mayang. (2010). Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Mampang
Prapatan. Universitas Pembangunan Nasional: Skripsi yang Tidak diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar